Dulu Robby Djohan ditunjuk menjadi dirut tatkala Garuda Indonesia akan di bangkrutkan oleh para kreditur. Penyebabnya, singkat saja: salah urus!
Ada semacam Deja Vu, keadaan di mana kita merasa familiar dengan kondisi ini, kayaknya kita sudah pernah mengalami hal seperti ini dengan keadaan yang sama. Memang kenyataannya, krisis seperti ini bukan kali pertama dialami Garuda. Mari kita kilas balik 20 tahun lampau.
Waktu itu, gara-gara utang besar kepada keditur asing untuk menutupi kerugian selama tujuh tahun maka kondisinya jadi sangat parah ketika krisis ekonomi menerapa di tahun 1998. Nilai tukar rupiah meroket ke Rp15.000 / USD. Pak Harto menugaskan Menteri BUMN pertama, Tanri Abeng, untuk menyelamatkan Garuda. “Ini tentang Garuda yang akan dibangkrutkan oleh krediturnya. Tugas saudara menyelamatkan agar Garuda tidak di-grounded karena Garuda membawa bendera Republik,” kata Soeharto.
Saat itu Tanri Abeng juga mengalami dilema, lantaran direksi Garuda adalah mantan ajudan Pak Harto, dan jaman itu siapa berani geser orang dekat Cendana? Namun Tanri Abeng nekat bicara dengan Pak Harto dan ternyata disetujui, bahkan untuk ganti seluruh jajaran direksinya. Kabarnya banyak mafia juga di dalam gerak korporasinya saat itu. Lho kok mirip dengan yang sekarang ya?
Meneruskan jalannya perusahaan sambil membalikkan kinerjanya jadi positif kembali merupakan suatu tantangan tersendiri. Perlu spirit tangguh dan etos kerja luar biasa untuk terus cari jalan demi mengembalikan kejayaan korporasi.
Pertama-tama, periksa laporan keuangan. Minimal tiga laporan keuangan dasar perusahaan, yakni:
- Laporan keuangan arus-kas (cash-flow). Jangan sampai aliran dana keluar lebih besar dari aliran dana masuk (negative cash-flow).
- Laporan neraca (balance-sheet) yang merupakan potret kekayaan atau asset perusahaan. Periksa apakah nilai utang lebih besar dibanding dengan harta, ini namanya negative networth.
- Laporan rugi laba (profit and loss/income statement). Seperti kita tahu, laporan ini menggambarkan operasional perusahaan: bagaimana posisi laba kotor (gross profit) yang merupakan hasi dari pendapatan (revenue) dikurangi harga perolehan (cost of good sold).
Dari laporan rugi-laba ini, kita juga bisa melihat laba operasi (operating profit), yakni keuntungan yang diperoleh setelah dipotong ongkos operasional (seperti gaji, ongkos promosi dan penjualan, sampai biaya administrasi). Lalu, kita juga bisa melihat laba ditahan (retained earnings), apakah masih ada yang tersisa? Ini perlu untuk pertumbuhan perusahaan di masa depan, jangan sampai posisinya negatif.
Dari analisa ketiga laporan keuangan tersebut dan blusukan ke beberapa situs perusahaan, pelanggan, mitra bisnis, kita bisa mulai melakukan restrukturisasi dan strategi turn-around perusaahan. Untuk perkara ini kita belajar dari pakarnya, Robby Djohan, yang telah membesarkan Bank Niaga, merestrukturisasi Garuda Indonesia Airways, serta memimpin penggabungan beberapa bank plat merah bermasalah menjadi Bank Mandiri.
Dalam buku Robby Djohan, ‘The Art of Turn Around – Kiat Restrukturisasi’, 2003, ada beberapa petunjuk: Pertama, perbaiki cash-flow, dengan cara mengambil segala tindakan yang perlu demi menghentikan kerugian. Untuk itu mungkin perlu merestrukturisasi utang atau suntikan modal baru.
Kedua, identifikasi isu-isu pokok, misalnya: citra yang jelek, posisi keuangan yang insolvent, staf dan personalia yang demotivasi, segmen-segmen operasional yang tidak profitable, proses kerja yang tidak efisien dan efektif, faktor kompetisi, dan faktor eksternal lainnya.
Ketiga, tuntaskan tiga masalah operasional berikut: 1. Personalia. Lakukanlah pembaruan pada posisi-posisi kunci. Rasionalisasi sekaligus motivasi karyawan. Ubah kultur kerjanya. 2. Operasional. Periksa semua aset perusahaan. Adakah aset menganggur? Atau, perlu perbaikan segera? Atau, adakah aset yang bisa dijual untuk memperbaiki posisi cash-flow? Periksa dengan rinci, tutup yang merugikan. Susun rencana usaha yang menjawab kebutuhan pelanggan. 3. Pemasaran. Lakukan perbaikan citra produk maupun perusahaan. Prioritas pada segmen yang menguntungkan. Lalu siapkan faktor pendukung proses kerja, IT atau outsourcing.
Lalu, dalam memimpin dan mengelola restrukturisasi itu, ada beberapa tips dari Robby Djohan: 1. Misi dan budaya organisasi yang pragmatis. 2. Pemimpin yang visioner. 3. Pragmatis, dahulukan kepentingan perusahaan. 4. Kerjakan hari ini juga. 5. Berani ambil keputusan meskipun salah, daripada tidak memutuskan sama sekali. Keputusan salah masih dapat diperbaiki. Khususnya dalam keadaan krisis, ambil keputusan adalah keharusan. Ini memang sulit karena asumsinya sering tidak pasti dan akibatnya bisa cukup fatal. Tapi ingat, tanpa keputusan tidak akan terjadi apa-apa. 6. Hidup dalam perubahan. 7. Team work. 8. Komunikasi, ciptakan suasana kondusif agar jalur komunikasi dan inovasi terbuka dari segala arah.
Kembali ke kisah penunjukkan Robby Djohan sebagai Dirut Garuda dulu. Hebatnya, Robby Djohan sendiri mengakui tak tahu apa-apa tentang bisnis penerbangan. Satu-satunya pengalaman yang ia punya adalah jadi penumpang pesawat. Wajar kalau dia rada galau, apalagi melihat utang Garuda saat itu telah mencapai 1,2 miliar USD, lebih besar dari seluruh asetnya.
Dari assesment-nya waktu itu Garuda hanya butuh sekitar 6000 orang karyawan, dan Garuda punya karyawan hampir 13.000. Organisasi terlalu gemuk! Produktivitas karyawan rendah. Banyak rute kering, sepi penumpang. Citra pelayanan buruk, kerap delay tanpa pemberitahuan. Sampai-sampai Garuda diplesetkan jadi Garuda Always Reliable Until Delay Announced.
Keberanian dan kelihaian negosiasi juga dibutuhkan untuk menghadapi kreditur. Robby Djohan tahu cara memperlakukan debitur-debitur saat mengalami kesulitan membayar. Robby bercerita, “Benar saja, mereka (para bankir) langsung menggebrak, mengintimidasi dengan suara keras, dan mengancam akan menyita pesawat A330 yang disewa.” Tapi dengan tenang Robby menjawab: “Saya datang bukan untuk memecahkan masalah saya tapi masalah Anda. Alasan utama mengapa Garuda kolaps adalah karena bank-bank internasional memberikan pinjaman kepada Garuda yang neraca keuangannya defisit. Dari pengalaman saya selama 30 tahun di bank, saya tidak dapat memahami itu. Dan jika Anda ingin mengambil kembali pesawat Anda, silakan lakukan karena tidak produktif bagi kami.” Gertak balik gaya Robby Djohan berhasil. Garuda boleh membayar pinjaman dalam tempo 16 tahun dengan bunga satu persen di atas SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate).
Tak sampai setahun Robby Djohan intens bekerja, Garuda selamat dari kebangkrutan. Bagaimana sekarang? Penyelamatan Garuda Indonesia : Deja Vu, Total Corporate Restructuring! Erick Thohir, Audentes fortuna iuvat! (fortune favors the bold).
*) *Andre Vincent Wenas*,DRS,MM,MBA., Sekjen *Kawal Indonesia* – Komunitas Anak Bangsa