Hari ini saya diundang menghadiri rapat pleno kedua PIKG (Perkumpulan Intelektual Kawanua Global) yang mengambil tempat di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Sabtu 14 Desember 2019. Asyik mengikuti pembicaraan orang-orang besar Kawanua yang peduli dengan berbagai persoalan bangsa. Ada birokrat, ada cendekiawan, dan mungkin ada juga campuran keduanya. Walahuallam.
Sejak dibentuk tahun lalu melalui Pertemuan Kawanua Informal Meeting (KIM) di Ruang Jati, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta tanggal 26 Juli 2018, PIKG lewat para anggotanya telah banyak berkiprah di ranahnya masing-masing. Banyak nama-nama besar asal Kawanua yang telah berkiprah luar biasa walau tidak langsung di bawah bendera PIKG.
Setelah lebih dari setahun berjalan, nampaknya PIKG tiba pada suatu momen untuk mereorientasi aspek kelembagaannya. Orientasi adalah peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar. Mau kemana Perhimpunan Intelektual Kawanua Global ini? Menjadi ormas atau tetap jadi wadah himpunan intelektual yang bukan ormas. Quo Vadis PIKG?
Dalam Nuwu Katare (Pembukaan) AD/ART PIKG dinyatakan bahwa Tou (Manusia) Kawanua adalah bagian yang integral dan pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang menyadari semakin besarnya tantangan, perubahan, dan pembaharuan, yang sedang dan akan dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam era globalisasi. Ini kepeduliannya.
Bahwa untuk ikut mengatasi kondisi dimaksud, Tou Intelektual Kawanua terpanggil untuk mengembangkan pemikiran strategis, konsep, dan peluang, sebagai solusi baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun global, demi meningkatkan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat dan bangsa, khususnya Tou Kawanua.
Cendekiawan atau kaum intelektual, secara kategoris bisa dibilang adalah kalangan yang menempati posisi teratas pada piramida strata sosial kemasyarakatan. Dari segi jumlah pun mereka tidak banyak, lantaran untuk menyandang status sebagai cendekiawan atau intelektual mesti melewati proses uji-sosial dan berbagai upaya yang tidak gampang. Kecerdasan, daya kritis dan terutama akhlak (moralitas) serta keseriusan dan konsistensi dalam karya intelektual adalah kawah candradimuka-nya.
Adalah Julien Benda (bukunya: Pengkhianatan Kaum Cendekiawan, sebuah buku klasik yang berisi renungan tentang pengkhianatan kaum intelektual) yang membagi masyarakat ke dalam dua kategori. Pertama: Intelektual yang mendedikasikan hidupnya untuk terus mencari kebenaran. Kedua: Kaum awam yang hidupnya terikat pada fungsi mengejar kepentingan materi dan duniawi.
Manakala seorang intelektual yang seyogianya setia pada kebenaran kemudian terjun ke ranah politik praktis yang intim dengan kekuasaan, apakah ia juga terseret untuk memperebutkan kekuasaan dan terlempar menjadi masyarakat awam yang semata mengejar materi dan duniawi?
PIKG bervisi: Mendorong Inovasi konstruktif Tou Kawanua di era milenial. Misinya: Memperkuat potensi partisipatif intelektual kawanua bagi kemajuan peradaban Indonesia. Dengan harapan bisa menghasilkan: Kajian dan Policy Studies, sambil menjalankan program khususnya: Talent Scouting dan Mentoring intelektual muda Kawanua yang berpotensi.
Paling tidak ada dua model organisasi cendekiawan yang bisa dicermati bersama. Pertama model Mazhab Frankfurt (Frankfurter Schule), atau model ICMI. Ada juga beberapa model atau contoh lain yang tidak saya bahas di sini dengan pertimbangan relevansi.
Mazhab Frankfurt, adalah semacam institusi sosial yang diprakarsai para intelektual (seperti Walter Benjamin, Max Hokheimer dan Theodore Adorno). Mereka para cendekiawan besar di Eropa. Buah-buah pemikiran kritis institusi sosial ini telah banyak menginspirasi pemikir dan penggiat sosial di seluruh dunia. Melahirkan teori sosial yang orientasinya mengkritisi dan mengubah masyarakat secara keseluruhan, berbeda dengan teori tradisional yang berorientasi hanya untuk memahami atau menjelaskan suatu hal. Teori Kritis adalah bentuk emansipatoris radikal dari teori Marxis. Mereka non-partisan, mengkritik setiap ideologisasi dan dogma yang dianggapnya sebagai tidak kritis. Mereka pemikir bebas. Dan buah-buah pemikirannya membebaskan masyarakat dari belenggu dogma dan ideologisasi (pemberhalaan) ajaran tertentu.
ICMI lain lagi. Dalam sejarah pembentukannya lewat sebuah simposium diceriterakan bahwa pelaksanaan simposium sempat terganggu oleh adanya gugatan tentang rencana B.J. Habibie sebagai calon Ketua Umum ICMI karena dia sebagai birokrat. Kepemimpinannya dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap kebebasan para cendekiawan muslim. Tanggal 30 November dan 1 Desember 1990, panitia secara khusus mengadakan rapat untuk menjawab isu negatif soal pemilihan Habibie. Dari pertemuan tersebut menghasilkan beberapa komitmen. Pertama, berdirinya ICMI merupakan ungkapan syukur umat Islam yang mampu melahirkan sarjana dan cendekiawan. Kedua, untuk memimpin ICMI diperlukan tokoh cendekiawan muslim yang reputasi nasional dan internasional serta dapat diterima oleh umat Islam, masyarakat Indonesia maupun pemerintah. Ketiga, hanya Unibraw salah satu wahana keilmuan- yang cukup pantas melahirkan organisasi itu, apalagi pemrakasanya adalah mahasiswa univeritas tersebut. Halangan juga sempat datang dari aparat keamanan setempat. Dalam rapat gabungan antara penyelenggara, pemda dan aparat keamanan di Surabaya, empat hari menjelang acara, aparat keamanan menyoal pembentukan organisasi tersebut. ICMI, kata mereka harus diwaspadai. Tapi Abdul Aziz Hosein yang menghadiri acara tersebut sebagai panitia penyelenggara mengatakan bagaimanapun ICMI akan terbentuk karena presiden sudah menyetujui dan AD/ART-nya sudah disusun. Pendirian ICMI sebagai ormas tak dipungkiri pekat dengan kepentingan rezim Soeharto dalam konstelasi politik pada saat itu.
Sebetulnya antara ICMI dengan PIKG ada kesamaannya, yaitu sama-sama organisasi berdasar identitas primordial. Yang satu beridentitas keagamaan, sedangkan satunya beridentitas etnis. Perbedaannya, ICMI sudah formal sebagai suatu ormas, sedangkan PIKG belum menentukan sikapnya. Tidak ada masalah dalam soal ini sebetulnya.
Menentukan sikap untuk jadi ormas atau bukan adalah pilihan bentuk/model organisasi. Pilih saja mana model yang paling pas, paling cocok untuk bisa mengerjakan misinya dan menghantar organisasi mendekatkan dirinya pada visi yang sudah dicanangkan.
Bagi PIKG yang ingin tetap bebas dari politisasi pihak tertentu, pertanyaannya jadi mana bentuk organisasi yang bisa menghindarkan dirinya dari manuver-manuver politisasi sementara pihak yang memang punya agenda politik praktis tertentu?
Bahwa PIKG harus berpolitik bukanlah suatu hal yang haram. PIKG saya kira tidak alergi pada politik. Sikap politik PIKG jelas kok terumuskan dalam Nuwu Katare (Pembukaan) AD/ART PIKG itu sendiri. Politikos (bahasa Yunani) yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
Jadi, tantangan terpenting bagi PIKG adalah merealisasikan apa yang sudah tercantum dalam pernyataan visi, misi dan Nuwu Katare AD/ART-nya. Lalu rumuskan dalam program-program kerja intelektual (berupa kritik dan saran) kepada para pelaksana kebijakan. Lakukan edukasi sosial supaya masyarakat jadi kritis dan terbebas dari belenggu ideologi sesat maupun tipu muslihat oknum penguasa yang dengan hipokrit menyebar kebohongan (hoax) demi menyelubungi praktek koruptif (proses pembusukan) bangsanya sendiri. “Proclaim the truth and do not be silent through fear,” begitu pesan St. Catherine of Siena.
I Yayat u Leos!
I Yayat u Santi!
*Andre Vincent Wenas*,DRS,MM,MBA., peserta Rapat Pleno II PIKG di Jakarta, Sabtu 14 Desember 2019.